Masihkah Phobia Komunis?


Masihkah kita phobia dengan komunis? Ini yang menjadi pertanyaan. Kalau bertanya pada masyarakat awam, apa itu komunis? Pasti jawabannya adalah PKI, dan itu juga sebaliknya. Yah, pemikiran mayoritas masyarakat kita masih diselimuti ketakutan atas komunisme. Yang sebenernya harus dihilangkan.

Disini gue bukan membela siapa-siapa, atau gue setuju paham komunis, enggak gue enggak komunis tapi gue juga bukan anti komunis. Tapi kenapa masyarakat kita masih phobia dengan yang namanya komunis? Apakah akibat peristiwa g30spki kah? Atau ini warisan dari orde baru? Entah, tidak ada yang tahu mengapa masyarakat kita bisa sangat takut dengan komunis.

Kalau kita bahas komunis, enggak enak kalau enggak bahas sedikit tentang salah satu pahlawan kita. Yup, Tan Malaka atau Sutan Ibrahim. Beliau lahir pada tanggal 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat, Hindia Belanda(saat itu belum ada nama indonesia). Pada oktober 1913 Tan Malaka pergi dari desanya untuk belajar di Rijkskweekschool Belanda, setelah sampai disana Tan Malak mengalami kejutan budaya.

Dan pada tahun 1915 Tan Malaka Mengalami penyakit pleuritis. Selama kuliah, pemikiran revolusinya mulai muncul setelah ia memabaca buku de Fransche Revolutie dari seseorang sebelum keberangkatannya ke Belanda oleh Horensma. Setelah revolusi Rusia pada oktober 1917, Tan Malaka sering membaca buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin.Friedrich Nietzsche juga menjadi salah satu panutannya. Saat itulah ia mulai membenci budaya Belanda dan terkesan oleh masyarakat Jerman dan Amerika.

Karena pengetahuannya pada Jerman, Tan Malaka bahkan ingin menjadi Angakatan Darat Jerman, tapi setelah Memdaftar dia ditolak dengan alasan angakatan darat Jerman tidak bisa menerima orang asing. Dan setelah beberapa lama seseorang bernama Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV, yakni organisasi yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia).Ia lalu tertarik dengan tawaran Sneevliet yang mengajaknya bergabung dengan Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (SDOV, atau Asosiasi Demokratik Sosial Guru). Lalu pada bulan November 1919, ia lulus dan menerima ijazahnya yang disebut hulpactie.

Dan setelah lulus dari SDOV, ia kembali ke desanya untuk mengajar. Ia kemudian menerima tawaran Dr. C. W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Mungkin itu hanya sebagian kecil cerita yang gue ketahui tentang Tan Malaka.

Walaupun seorang penganut paham komunis, Tan Malaka tak serta merta menjadi seorang atheis, ia bercerita kalau dirinya lahir dari keluarga yang islami dan ia juga sudah bisa tafsir Al - Qur'an pada waktu masih kecil. Tapi saat didesanya ia tidak sempat mempelajari bahasa Arab. Tapi setelah di Belanda, Tan Malaka rela mengirit uang makannya hanya untuk membeli berjilid-jilid buku sejarah islam dan bahasa arab.

Walaupun Tan Malaka adalah seorang komunis, tapi pemikirannya tentang komunis sangatlah berbeda. Ia menyatakan kalau agama dan komunis tak perlu di pisahkan. Dan bukti lagi kalau pemikiran Tan Malaka mengenai komunis berbeda ada Dalam pertemuan ini Tan Makala mengakui bahwa di Moskow, Rusia, di mana berlaku diktator Stalin, dirinya takkan bisa hidup. Dirinya (Malaka) tidak mempunyai tulang punggung yang mudah membungkuk.

Tan Malaka tunduk kepada prinsip yang dimufakati bersama, tetapi tidak bisa dan tidak biasa menundukkan diri kepada orang seorang, termasuk kepada Stalin, pemimpin Komintern waktu itu, sekalipun. Tan Malaka berkata waktu itu, ia menjauhi lingkungan yang bertentangan dengan Komunisme yang sebenarnya, dan akan berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia.

Tapi anehnya saat masyarakat kita masih phobia tentang komunisme, Tan Malakapun diikut-ikutkan, seolah Tan Malaka adalah orang yang bersalah atas meyebarkan paham komunis di Indonesia. Sampai-sampai teater monolog Tan Malaka yang akan di gelar pusat kebudayaan Perancis IFI, Bandung dibubarkan paksa oleh FPI.

Dan mereka berbicara seperti yang gue kutip dari merdeka dot com berikut ini :
"Itu kan versinya PKI. Tan Malaka itu kan pahlawannya orang-orang PKI, Tan Malaka itu kan tokoh Marxis," kata Ketua Bagian Nahi Mungkar FPI Jawa Timur KH Dhofir di depan Gedung C20 Library. Pantaskah seperti ini? Entah.

Yah, mereka yang berbicara seperti itu tak pernah mempelajari sejarah, mereka tak pernah menghargai pahlawan, atau bahkan mereka tak pernah membaca sejarah bangsa ini. Mungkin mereka perlu di bacakan biografi Tan Malaka, sampai mereka kenal betul siapa beliau, agar mereka tak mengkaitkan peristiwa G30SPKI dengan Tan Malaka.

Memang benar Tan Malak pernah menjadi ketua PKI, tapi ia malah dibenci oleh para elit di PKI. Ia di benci karena menolak pemberontakan yang akan dilaksanakan pada tahun 1926-1927. Salah besar jika Tan Malaka dituduh sebagai biang dari peristiwa G30SPKI, karena Tan Malaka pada waktu itu sudah keluar dari PKI. Jadi kalau ada orang yang masih menuduh Tan Malaka sebagai biang G30SPKI, dia pasti enggak pernah baca sejarah.

Ingatlah, kekacauan yang di timbulkan dari pengetahuan setengah-setengah itu lebih besar.
SHARE

Admin

Saya hanyalah seorang blogger amatir yang goblog

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.